Takdir . Keenam.
20.36
Benar kan tak ada yang bisa
menentang takdir Tuhan. Manusia boleh saja berkehendak tapi tetap Tuhan yang
menentukan. Sama seperti aku. Inginnya lepas namun terikat. Inginnya menjauh
namun semakin dekat. Inikah skenario Tuhan? Inikah jalan cerita yang harus aku
lalui? Astaga Tuhan apalagi selanjutnya? -Baca Takdir. Kelima.
***
Mega merah yang muncul kala hujan
di sore hari membuatku merasa bisa melepas segala kepenatan hati. Jatuh cinta,
cemburu dan patah hati. Rasanya mega merah itu muncul bagaikan magnet untuk
menarik pergi semua rasa itu.
Sesak sekali rasanya. Rongga dada
penuh dengan rasa kepuasan kepada yang maha kuasa. Tanpa disangka bibir ini
melengkung tanpa alasan membentuk senyum indah.
“Indah…” aku menoleh pelan
menatap seorang yang tiba-tiba muncul dan ikut mengagumi karya Tuhan yang agung
ini. Lagi-lagi menikmati keindahan dunia bersamanya. “Ada mitos yang bilang,
kalo liat sunset berdua doang bisa saling jatuh cinta loh ra. Hahaha”
“Sebelum liat sunset juga udah jatuh
cinta mas…” ucapku lirih.
“Apa?” hah?! Tanpa kusadari badanku
menegang. Astaga kenapa aku tak bisa menahan rasa ini. Sungguh bukan kehendakku
berkata begitu, namun entah dari mana datangnya keberanian itu. “Gausah tegang
gitu. Aku denger ra” Aku semakin takut. Apa benar dia mendengarnya. Jangan
Tuhan. Jangan sampai dia mendengarnya. “aku juga….”
“Loh bara kamu disini? Dicariin tau
dari tadi. Tega banget kamu ninggalin aku sendirian di villa. Ayo bar balik” suara
cempreng dan manja milik Sasya itu jelas menghentikan Bara. Entah kenapa…
Sasya menyelamatkanku. Dia
menyelamatkanku dari suasana yang menegangkan itu. Aku kembali menikmati mega
merah yang mengagumkan itu. Kembali menikmati mega merah dan kembali mengingat
kata-kata yang diucapkan Bara tadi.
aku juga….
Sungguh aku tak pernah berani
membayangkannya. Aku sangat takut berharap. Takut jika harapan itu tetap
menjadi harapan. Takut jika harapan itu tak bisa kutarik keluar dari dunia angan-angan.
Perlahan mega merah menghilang,
digantikan oleh langit kelabu yang kelam. Mega merah yang membawa kenyamanan
itu digantikan oleh langit kelabu yang menggentarkan.
Jangan
Berakhir….
Kumohon tetap seperti ini. Aku ingin
tetap melihat indahnya mega merah yang tergelar mengagumkan itu. Tuhan kumohon
beri aku waktu sedikit saja, agar aku bisa menyimpan semua memori indah ini.
Sekali lagi keadaan menegangkan tadi
berkelebat di langit. Tepat di ujung retinaku. Semua muncul bagi film yang di
putar ulang. Astaga. Kutukan macam apa ini? Aku menggeleng keras. Berusaha
tidak mengingat kejadian sore ini.
Liburan yang tadinya kupikir akan
menyenangkan berbanding kebalik dengan semua yang kuharapkan. Sasya si nenek
sihir manja yang kerjaannya ngeluh, ngomel dan maunya diperlakukan seperti ratu
itu membuatku muak.
Eh, apa benar aku muak karna
sikapnya? Bukan karna dia pacar Bara? Bukan karna dia perempuan yang berhasil
menaklukan hati sang lelaki pujaan? Hssssh. Pikiran bodoh macam apa itu. Aku
butuh udara segar. Pergi ke taman dengan secangkir coklat panas mungkin bisa
menenangkanku.
“Seneng banget sendirian sih?” aku
menoleh kearah suara itu muncul. Kusunggingkan senyum dan kugeser sedikit
tempat duduk agar dia bisa duduk di sampingku.
“Seneng banget ngagetin sih?”
balasku.
Kami diam. Suasana yang tegang sore
itu sudah kembali mencair. Tanpa sadar aku menghembuskan napas yang dari tadi
sudah kutahan. Berdiam diri ditemani oleh seorang yang dicintai di bawah
terangnya lampu taman dan ditemani suara hewan malam membawa aku pada
ketenangan. Ingin rasanya saat seperti ini takkan berakhir.
“Mas…”
“Ra...”Ucap
kami bersamaan. Tanpa aba-aba kami tertawa serentak. Ini menyenangkan.
“Kamu
duluan”
“Mas Bara duluan” lagi-lagi
berbarengan. Lagi-lagi ini menyenangkan. Lagi-lagi aku puas dengan keadaan
seperti ini. “Mas Bara duluan, aku yang muda ngalah haha”
“Okee. Terlalu banyak yang pengen
diomongin sampe-sampe aku bingung harus mulai dari mana ra” katanya gugup.
“Aku bisa nunggu, dan mas Bara
bisa mikir” Mas Bara mengacak-ngacak rambutnya dengan tangan, sebentar
menatapku dan menoleh ke lain arah untuk mengendalikan diri.
Kembali kami dihadapi keheningan
yang luar biasa mendebarkan. Sungguh aku tak pernah merasa segugup ini. Belum
ada apapun yang terjadi, tapi seperti ini saja sudah sangat meresahkan.
“Hmm, ra” aku menoleh kearahnya.
Terlihat ada keraguan di matanya. Ini aneh “Sebenernya, Sasya bukan tunangan
aku ra”
“Ha?” aku kaget. Aku bingung
bagaimana aku harus bersikap. Harus senangkah? Atau pura-pura tak
memperdulikan? “Gimana maksudnya? Aku ga ngerti deh mas” kataku jujur.
“Dari kecil aku udah ditunangin
sama Sasya. Mama aku sama mamanya dia pengen banget bisa besanan, makanya
mereka pengen kalo aku sama Sasya bisa pacaran. Tapi bener deh aku ga suka sama
dia. Aku sukanya sama kamu. Tunggu jangan sela, aku tau ini aneh. Kita jarang
ketemu, kita ga terlalu saling kenal. Tapi…”
“Tapi ini udah malem mas.
Lanjutin besok aja ya. Nite” saking terkejutnya aku, hanya itu yang bisa aku
ucapkan. Astaga ini memalukan. Bukan pertama kalinya seorang mengungkapkan
perasaannya padaku, tapi ini mas Bara. Mas Bara!
Tanpa menunggu jawabannya, aku
beranjak dari tempatku. Mas Bara terpaku di tempatnya. Bodoh Bodoh Bodoh. Ini
kan yang aku harapkan selama ini? Saat dimana mas Bara mengungkapkan
perasaannya padaku? Tapi kenapa saat hari itu datang aku malah kabur?
0 komentar