Kisah Bu Ani yang Malang

20.00

Hai selamat malam. Pas gue ngeposting ini artikel dirumah gue lagi malem-malem. jadi gini ceritanya, beberapa hari yang lalu gue gak sengaja buka facebook. dan di facebook gue ada salah satu temen yang temennya ngeshare sebuah cerita yang harusnya bisa jadi pelajaran buat kita sebagai anak dan buat orang tua juga tentunya. cus ke tee kaaa peee...

Awalnya si nara sumber berbagi kisah tentang berita seorang ibu yang membantai anaknya sendiri. Astaghfirullah. Dari kelima anaknya, 3 diantaranya (umur 10, 8, dan 3 tahun) meninggal diujung tebasan kapak membabibuta ibu kandung sendiri. Dua anak lainnya (umur 7 dan 5 tahun) menderita banyak luka parah di sekujur tubuhnya. Konon si ibu mengalami histeria karena suaminya yang sedang merantau memutuskan untuk mengajak 5 anaknya ke perantauan dan meninggalkan sang istri sendiri di kampung halaman.

Ngeri....

Tapi ternyata si Narasumber bukan ingin menceritakan tentang kisah si ibu yang membantai 5 anaknya hingga 3 diantaranya meninggal, melainkan kisah seorang yang dia dapatkan dari seorang Trainer Parenting. Konon katanya, cerita ini membuat semua yang hadir mengikuti pelatihan, bergidik ngeri dan hampir semua mengucurkan air mata.

Cerita itu tentang Ani Komariah Sriwijaya, seorang ibu rumah tangga asli Boyolali tapi tinggal di bandung, lulusan ITB, yang pada 2006 lalu menggegerkan masyarakat karena membunuh ketiga anaknya yang masih kecil dengan cara membekap mereka dengan bantal sampai meninggal. Mungkin masih banyak yang ingat kasusnya. Banyak yang mengira bahwa alasan pembunuhan itu adalah karena Bu Ani depresi memikirkan masalah ekonomi dan mengkhawatirkan masa depan anaknya yang suram. Bu Ani kemudian diputus bebas oleh pengadilan dan diperintahkan untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Pak Faudzil Adhim kebetulan tergabung didalam tim psikologi yang memeriksa kondisi kejiwaan Bu Ani waktu itu, dan cerita latar belakang kenapa Bu Ani memutuskan untuk mengakhiri hidup anak2nya inilah yang mengundang kucuran airmata dan menegakkan bulu roma kami semua yang mendengarnya.

Bu Ani sendiri, boleh dibilang adalah potret sempurna dari keberadaan seorang anak. Dari kecil sampai lulus ITB, prestasi akademiknya selalu cemerlang. Pengalaman sosialnya juga bagus. Intinya, dari luar dia merupakan anak yang diidam-idamkan semua orangtua, titik. Ketika kemudian menikah dan menjadi seorang ibu, dia juga tidak beda dengan ibu-ibu lainnya yang sangat menyayangi anak-anaknya, segenap jiwa dan raga. Lantas kenapa dia sampai memutuskan mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri?? Sebelum mengungkapkan alasan yang berhasil digali oleh tim psikologi yang memeriksanya, Pak Faudzil menggambarkan suasana siang itu, ketika Bu Ani melaksanakan niat yang sudah bulat diambilnya sejak beberapa waktu sebelumnya.

Siang itu si anak sulung Nadhif (6 tahun) baru pulang sekolah. Mungkin sekitar dhuhur, ketika sehabis sholat Bu Ani menyambut kedatangan si sulung dengan senyum dan pelukan sayang seperti biasa. Kemudian disiapkannya makan siang untuk Nadhif, ditemaninya si sulung makan siang bersama adiknya Faras (3 tahun, si anak tengah) . Si bungsu Umar (9 bulan) saat itu sedang tidur siang.

Sepanjang makan siang itu, Bu Ani lebih banyak mengelus rambut anak2 dan menciumi kepala mereka daripada hari-hari yang lain. Setelah selesai disuruhnya Nadhif dan Faras mandi. Sehabis mandi, mereka diberi pakaian yang nyaman dan dibedak seluruh tubuhnya sampai harum. Bu Ani kemudian menyuruh si sulung bermain di ruangan lain sementara dia mengantar si tengah tidur siang di kamar. (Aku tidak yakin yang mana diantara mereka yang lebih dulu diminta untuk tidur siang, tetapi kurang lebih begitu kejadiannya, satu anak diantar tidur siang dan yang lain bermain di luar kamar).

Bu Ani tak lupa mengajak si anak membaca doa sebelum tidur, bahkan dengan lembut menyanyikan beberapa lagu pengantar tidur yang diminta anaknya. Ketika kemudian dia yakin bahwa si anak sudah tertidur pulas, diambilnya bantal dan ditangkupkannya ke wajah anaknya tersebut….kuat-kuat….lama…
.cukup lama sampai nafas si anak berhenti…

Kemudian Bu Ani memanggil si anak lain yang sedang bermain di luar kamar. “Ayo, temani saudaramu tidur siang nak…” Dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama diantarkannya si kecil ke hangatnya tidur siang dan mimpi yang indah… Dan Bu Ani sekali lagi mengambil bantal untuk ditangkupkan ke wajah si kecil… Si kecil pun kembali meregang nyawa tepat disamping saudara yang tanpa sepengetahuannya sudah lebih dulu meninggalkannya.

Dan terakhir, si bungsu Umar, yang masih bayi dan terlelap tidur pun, kemudian menyusul kedua kakaknya…meregang nyawa didalam pelukan Bu Ani…

***

Kisah diatas sangat mengerikan buat kita semua, tentu saja… Tetapi kalau ada yang lebih mengerikan adalah alasan Bu Ani melakukannya. Kalau melihat latar belakang pendidikannya, tentu hal seperti ini kurang masuk akal. Seharusnya Bu Ani sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, lebih bisa mengatasi tekanan mental maupun emosi didalam dirinya. Tetapi apa yang dialaminya (seperti yang diceritakan oleh Pak Fauzdil di PSC) ternyata memang sangat besar, jauh lebih besar daripada yang kami semua kira.
Setelah melewati penggalian yang lama dan dalam oleh tim psikologi, terungkap alasan sebenarnya dibalik keputusan Bu Ani…

Ani Komariah, dari luar memang potret anak yang sempurna. Tetapi sangat ironis dan dramatis, kecemerlangan dirinya dihadapan semua orang, ternyata tidak bisa dilihat oleh si Ani terpancar keluar dari mata ibu kandungnya sendiri. Ibunda dari Ani, diceritakan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang dicapai oleh putrinya. Dan sang Ibu adalah tipe wanita yang SANGAT PENGOMEL!! Sekeras apapun Ani berusaha memberikan yang terbaik dalam hidupnya, tetap saja yang dia dapat ketika pulang adalah omelan tidak puas dari ibunya. Sebanyak apapun nilai A yang dia dapat, begitu berhadapan dengan ibunya langsung menjadi tidak berarti karena akan selalu dibandingkan dengan prestasi teman lain yang nilai A nya lebih banyak. Setinggi apapun prestasi yang dicapai Ani, yang dilihat sang Ibu adalah orang lain yang berprestasi lebih tinggi lagi. Omelan demi omelan tanda ketidakpuasan, sepertinya hanya itu yang Ani dapat selama dia tumbuh dewasa. Dan itu merupakan sebuah luka yang besar yang kemudian berurat akar dalam dirinya.

Ketika Ani menikah serta melahirkan ketiga anak-anaknya, omelan-omalen tak puas dari sang ibu bahkan sama sekali bukanlah yang terburuk yang bisa terjadi…

Selama mendidik putra-putrinya, pelan-pelan Ani belajar dan menyadari bahwa kebiasaan ibunya mendidik dia dulu, tanpa sadar seringkali dilakukannya pada anak-anaknya. Sekeras apapun niatnya untuk bertekad tidak mau meniru cara mendidik ibunya yang penuh omelan tak puas itu, tetapi sesering itu juga tanpa disadarinya, itu terjadi… Anaknya tumbuh dengan omelan yang (walaupun tidak sebanyak dirinya, tetapi) mirip dengan yang selalu diterimanya dulu dari sang ibu…

Ani kemudian belajar dan menemukan bahwa luka yang ditorehkan sang ibu didalam hidupnya, tak mungkin terhapuskan… Lebih buruk lagi, kemudian dia memutuskan bahwa luka itu menular, menurun dan melukai anak-anaknya juga… Luka yang kali ini dia timbulkan sendiri…. Dia torehkan tanpa sadar kedalam hidup anak-anak yang dicintainya… Luka yang menyebar dengan kuat, bahkan tekad bulatnya yang kuat untuk menjadi ibu yang baik pun, tak kuasa menghentikannya…

Sebagai seorang ibu, Ani merasa bahwa dia adalah ibu yang sudah terlanjur terlaknat. Terlaknat oleh luka dan kebiasaan buruk tak tersembuhkan yang sudah kadung ditorehkan ibunya dulu. Dan lebih buruk lagi, sekarang, tanpa dia sadari dan bisa hentikan, dia akan mencetak 3 calon orangtua yang terlaknat juga, yaitu anak-anaknya. Ani merasa nanti ketika anak2nya sudah menjadi orangtua, tanpa sadar mereka pasti akan mewarisi caranya memperlakukan anak-anak, sekeras apapun mereka mungkin akan mencoba menghentikannya.

Tak terbayangkan oleh Ani nasib cucu dan keturunannya, kalau luka ini akan terus menjalar turun kepada keturunannya. Kalau omelan-omelan jahanam itu akan terus menelan korban, melukai hidup banyak orang karena tidak bisa dihentikan penularannya. Melukai banyak orang yang kemudian hanya akan berakhir sama, menjadi penyebar dan pembawa kebiasaan terkutuk itu…

Konon, Bu Ani masih mengakui betapa cintanya dia pada sang bunda… Tetapi pada akhirnya, sebagai seorang ibu yang juga sangat mencintai Nadhif, Faras dan Umar, Bu Ani memutuskan bahwa dia tidak sanggup lagi mencintai anak-anaknya… Tidak dengan cara seperti itu…

***
Mungkin banyak diantara kalian yang merasa bahwa orangtua terlalu memaksakan kehendak-kehendaknya. Bukan aku menyuruh kalian untuk tidak mematuhi apa yang diperintahkan mereka, melainkan cobalah untuk berkonsultasi, cobalah untuk sering-sering berkomunikasi. katakan pada orang tuamu "Ma, Pa aku gak suka ini..." "Bu, Pak, aku maunya seperti ini..."

Orang tua jelas menginginkan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka melakukan segala cara untuk membuat anak-anaknya menjadi yang terbaik juga, Mungkin bukan caranya yang salah, melainkan kurangnya komunikasi antar anak dan orang tua. Hasilnya, orang tua tidak mengetahui dengan jelas apa yang diinginkan oleh anak-anaknya. ya akibatnya, seperti kisah bu Ani yang tadi. Orang tuanya tak pernah  merasa puas dengan berbagai prestasi yang pernah dia torehkan.

Jadi, mulai sekarang cobalah menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua-orang tua kalian. mereka pasti mengerti. mereka pasti mau mendengarkan. jika memang tidak, mungkin belum saatnya, dan mungkin mereka belum mendapat pengertian yang jelas. cobalah untuk selalu berkonsultasi dengan ayah dan ibumu. mereka tentu akan dengan senang hati membimbingmu untuk meraih masa depan yang cemerlang....

Sumber : Tulungagung.net

You Might Also Like

0 komentar