Takdir. Pertama
21.07
Aku mulai menulis. Menulis apapun yang aku suka. Seperti menulis tentangmu. Aku suka menulis tentangmu. Entah mengapa. Menulis segala tentangmu terasa benar. Menulis semua tentangmu terasa sangat menyenangkan.
Aku mulai mencari apa arti perasaan ini sesungguhnya. Mulai dari buku-buku yang sering kubaca. internet sampai ke hampir setiap orang yang kukenal. Cinta. Perasaan ini bernama Cinta? Indah. Sama indahnya saat aku menulis tentangmu. Sama indahnya saat aku memimpikanmu.
Tapi tunggu, aku kan belum pernah merasakan apa itu cinta. Apa benar perasaan ini bernama cinta? Atau aku hanya merasa kagum sesaat? Kurasa bukan. Aku menyukainya lebih dari rasa kagumku pada artis artis idolaku. Aku menyukainya lebih dari rasa kagumku pada para penulis terkenal diluar sana. Jadi ini benar Cinta? Entah. Aku bingung.
Semua perasaan ini mengingatkanku pada hari dimana kita bertemu. Di sebuah rumah sakit lengkap dengan pakaian biru telurku. Saat itu aku sedang mengagumi hujan dari jendela kamarku.
***
Hujan. Aku menyukai hujan sama seperti aku menyukai gerimis. Dan aku menyukai gerimis seperti aku menyukai mendung. Menyukai hujan bukan berarti aku menyukai hal hal yang diakibatkannya. Aku hanya suka memandang hujan. Sama seperti aku suka memandang gerimis juga mendung.
Tapi sayangnya aku menyukai mereka hanya sebatas memandang. Tak lebih. Tanpa harapan ikut bergabung dengan obrolan mereka. Tanpa harapan untuk ikut serta bagaimana cara mereka membasahi dunia. Tanpa harapan aku akan menjadi bagian dari mereka.
Apalagi pada saat keadaan seperti ini. Jangankan untuk bisa menjadi bagian dari mereka. Untuk berharap pun aku tak mampu. Saat dimana aku merasakan sakit yang luar biasa pada bagian kepalaku. Saat dimana aku hanya bisa berbaring dengan pakaian biru telurku.
Ya. Sudah 4 hari berlalu sejak hujan turun dan seakan enggan untuk pergi meninggalkan bumi. Aku terbaring lemah di salah satu rumah sakit dibilangan kota Bogor. Seorang diri. Dan hanya ditemani oleh berbagai gadget yang diharap bisa menghapus sepi.
Bogor. Kota yang indah yang ikut melatarbelakangi kisahku. Dimana aku hanya seorang remaja biasa. Dengan tampang biasa dan kemampuan otak rata rata. Tidak ada yang spesial, apalagi luar biasa. Aku hidup sama seperti layaknya kebanyakan remaja seusia diriku. Satu satunya yang berbeda, aku tidak membuka diri seperti remaja pada umumnya.
Aku kuat. Kata kata yang selalu terlontar ketika aku mulai putus asa. Putus asa ketika aku harus teringat bagaimana kondisiku sekarang ini. Putus asa ketika aku harus kembali ke jalan yang harusnya aku tinggali.
Melihat hujan dari jendela kamar rumah sakit ini memang paling indah. Aku bisa langsung melihat latar taman belakang rumah sakit ini. Taman itu tidak terlalu besar, namun cukup indah dan cukup asri. Berbeda sekali keadaan hatiku yang cukup gersang.
BRUUK
Kulihat seorang laki-laki tersungkur jatuh tidak jauh dari tempatku berdiri. Bisa saja aku langsung berlari keluar kamar dan membantunya. Tapi tidak. Aku bukan seorang yang mudah perduli kepada orang lain. Jahat? Memang!
Cukup lama sudah aku memandangi laki-laki itu, namun dia tidak juga bangun dari tempatnya. Aku mulai khawatir. Apa laki-laki baik baik saja? Apa laki-laki itu terlalu kesakitan hingga tak mampu untuk berdiri? Beribu pertanyaan yang mengusik otakku kini.
Gusar. Aku berlari gusar menerobos rintikkan hujan yang semakin lama semakin deras. Tak perduli seberapa banyak air yang membasahi tubuhku. Sampailah aku di tempat laki-laki itu terkapar. Dan kulihat banyak sekali darah yang mulai larut tersiram derasnya hujan.
Tanpa peduli bagaimana darah laki-laki itu menempel pada baju biru telurku aku mencoba memapahnya sambil berteriak meminta tolong. Untungnya ada beberapa suster yang segera manghampiri.
Setelah mengganti baju aku pergi ke ruang rawat laki-laki yang pingsan itu. penasaran bagaimana keadaanya. Parahkah? Atau dia baik-baik saja? Sesampainya aku lihat dia tertidur. Aku bergegas untuk meninggalkan kamar itu. Takut mengganggunya.
“Lo siapa?”
Suaranya yang pelan namun sukses mengagetkanku. Apa aku yang membangunkannya? Apa aku mengganggunya? Kurasa tidak. Aku tidak melakukan apapun yang mengganggunya.
“Lo siapa?”
Karna tidak ada jawaban dariku diapun bertanya lagi. Masih dengan nada yang sama. Pelan dan datar. Suaranya terdengar ramah namun menyebalkan. Huuuh
“Bukan siapa-siapa”
Segera aku berjalan keluar dari kamar laki laki yang pingsan itu. Bisa-bisanya aku khawatir. Jelas-jelas dia udah ditanganin sama dokter. Ya jelas bakalan baik baik aja lah.
***
Itu takdir pertama kita. Ingatkah? Mungkin tidak. Karna itu hanya pertemuan yang tidak terduga. Aku mengingatnya. Sangat mengingatnya. Kamu, seorang laki-laki dengan suara datar namun terdengar ramah. Apa mungkin dalam pertemuan pertama kita aku mencintaimu? Tentu tidak. Ingatkah kamu hari itu? Saat kita saling berjabat tangan dan mengucap nama masing-masing?
bersambung ke Takdir. Kedua
0 komentar