Takdir. Kedua

20.18

Itu takdir pertama kita. Ingatkah? Mungkin tidak. Karna itu hanya pertemuan yang tidak terduga. Aku mengingatnya. Sangat mengingatnya. Kamu, seorang laki-laki dengan suara datar namun terdengar ramah. Apa mungkin dalam pertemuan pertama kita aku mencintaimu? Tentu tidak. Ingatkah kamu hari itu? Saat kita saling berjabat tangan dan mengucap nama masing-masing? Baca  -Takdir. Pertama

***
“Lewat puncak pas hari sabtu itu macet caa. Males”

Risa tapi aku lebih senang mamnggilnya ica. Sahabatku sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Gadis cantik yang baik hati dan yang paling aku suka senyumnya. Dia mempunyai senyum yang menghanyutkan. Saat dia tersenyum aku akan ikut tersenyum melihatnya. Mungkin bukan hanya aku. Tapi semua yang mengenalnya.

“Ih nara sekali kaliii. Mumpung libur panjang tau. Emang gak sumpek di bogor terus?”

Dia mengajakku pergi ketempat eyangnya untuk menghabiskan waktu liburan yang lumayan lama ini. Sebenarnya malas, tapi mengingat dia sahabatku sejak kecil aku menghargai niat baiknya.

“oke. Tapi plis ca jangan over dramatis gitu”

Aku dan ica sengaja menempuh perjalanan pagi agar terhindar dari kemacetan. Kira-kira jam 7 kami sampai di kampung bambu. Suasana yang nyaman dan asri ini membuatku langsung merasa betah. Aaaaah. Pemandangan yang masih hijau. Langit biru yang cerah. Ah indah sekali.

“Oiya ra lo inget gak mas Bara yang pernah gue ceritain?” Aku mengangguk namun masih sibuk mengagumi hamparan alam di sekitar jalanan yang kami lewati. Ini benar benar indah. Para petani yang menyangkul. Dan banyaknya Kerbau yang membajak. Anak kecil yang bermain lumpur di sawah tanpa takut akan kotor. Ini alami. Aku suka. Sangat suka. “Dia lagi dirumah eyang gue juga ternyata, nanti gue kenalin ya. Lo pasti suka”

“Ca, berapa cowok coba yang udah lo kenalin sama gue?”
“Enggak ra, yang ini beda. Pokonya beda....”

Mobilku kini sudah mulai masuk pedesaan dengan banyak rumah di sekelilingnya namun anehnya desa ini masih terasa asri. Kumatikan AC mobilku dan kubuka jendelanya. Bau ini. Bau daun basah karna embun masih sangat terasa. Sisa kabut masih terlihat disepanjang jalan yang kami lewati.

“Nara stooooppp!!!!” Aku kaget. Dengan latah kakiku menginjak rem. “Eyaaaaaaaanggg” suara cempreng milik Risa terdengar menggelegar di pagi yang sunyi ini.

Disuguhkan banyak makanan tradisional membuatku merasa amat berbeda. Disini semuanya serba sederhana. Sederhana yang nyaman. Sangat nyaman bahkan. Kurasa disini aku bisa melepaskan segala kepenatan kota. Aah. Sesak. Kuhirup udara disini sehingga sesak memenuhi rongga dada. Tiba-tiba terdengar suara laki-laki bersuara datar yang pernah kudengar. Tapi mana mungkin.

“assalamualaikuuum. eyang mobil siapa tuh di depan?” suara yang sering menghantuiku akhir – akhir ini.
“Mas baraaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!”

Mas Bara.... ternyata dia mas bara. Kakak sepupu ica. Sahabatku. laki-laki yang tidak asing buatku. Tapi siapa? Mas bara.... kuucap berulang kali dan berharap bisa mengingat siapa laki-laki ini.

“Ih ica kan? Udah gedeee. Cantik ih sekarang putih lagi. Dulu kan demek. Wkaakak”

Aku ikut tersenyum mendengarnya. Ica yang diledek hanya mencibir tak perduli. Mereka lucu. Andai aku punya kakak seperti ica. Kedua orang tuaku adalah anak tunggal. Kedua eyangku juga anak tunggal. Sepertinya keturunan. Karna kini aku juga anak tunggal. Jadi otomatis aku tidak punya sepupu. Dekat ataupun yang jauh sekalipun.

“Iyalah. Emang mas bara dari dulu jelek terus. Whahaha. Oiya kenalin mas temen aku. Nara namanya. Cantik kaan?” aku mencubit ica. Apa-apaan coba si ica. Ketauan banget mau nyomblangin-_- “Raa, ini mas bara. Mas gue yang paling guanteng. Mueheheh”
“Bara” katanya sambil mengulurkan tangan besarnya
“Nara” kakaku membalas uluran tangan mas bara.
“Ih nama kalian hampir miriiip. Waah jodoh kaliiii”

Dasar ica. Dia meninggalkanku berdua dengan mas Bara. Dengan alasan dia ingin membantu eyangnya di dapur. Huh, basi. Ternyata mas Bara orang yang menyenangkan. Gampang nyambung dengan berbagai macam obrolan.

“Eh kalo gasalah kita pernah ketemu kan sebelumnya? Di rumah sakit”

Rumah sakit. Ingatanku kembali pada hari itu. Astaga. Aku ingat. Dia laki-laki yang pingsan ditengah hujan derasnya kota bogor. Haha dunia sempit sekali.

“iya beneeer, jadi mas bara yang waktu itu pingsan? Whahaha dunia sempit bangeeeet”

***
Itu takdir kedua kita. Kalau yang ini aku yakin kamu pasti ingat. Kita pernah membahasnya dulu. Dulu. Oiya. Dunia sempit ya? Sempit banget! Kamu tau kenapa? Karna di setiap sudut dunia yang aku jelajahi hanya kamu yang ada di ujung kelopa mataku.

Oiya bar kamu tau? Saat itu adalah pertama kalinya aku bisa merasa nyaman dengan seorang laki-laki. Sebelumnya? Jangankan nyaman. Didekati pun aku tak sudi. Dan kamu tau. Bukan hanya nyaman yang aku rasa. Tapi aku juga merasa sebesar apapun bahaya yang akan datang aku yakin bisa melewatinya dengan mudah. Dan kamu tau? Sejak saat itu aku berjanji aku akan mengunci hatiku untuk orang lain.

Takdir selanjutnya kita bertemu di negara paling romantis di dunia. Paris. Ingat? Saat kita bertemu di Jembatan Pont Des Art? atau Saat kita saling menertawakan satu sama lain karna hanya menulis inisial seorang diri?

***

Bersambuuunnnnggg........ Takdir. Ketiga

You Might Also Like

0 komentar