Gap

16.48

“Bruuk,” kudengar suara hempasan tubuh ikut tidur di sampingku.

“Iiiihhhh…,Mba Tia, apa-apaan sich. Bau banget, aaahhh… pokoknya jangan deket-deket Fani dulu deh….!!!” keluhku enggan.

“Bentar aja deh, Fan. Namanya juga abis lari pagi, dari pada kamu jam segini masih molor. Cewek apaan, nih.??” tukasnya sambil menarik selimutku.

“Cewek cantiklah,” jawabku jengkel.

“Amit-amit, amit-amit. Kalo gue jadi lelaki tak bakal tak lirik kamu, non… Mana ada cewek cantik kerjaannya molor terus.!” godanya riang. “Oke, bangun gadis manis, mandi, dan segera turun ke bawah. Tuh, Mbok Yem udah nyiapin makan pagimu,,, dan…”

“Membaca Koran pagi.” potongku cepat.

“Salah. Sebelum loe sekolah, kita akan wawancara, sedikit aja.” tukasnya.

“Hmmm,udah ngakuin nich kalau gue bener-bener artisnya sekolah..???” godaku

“Uuuhh dasar.. oh iya, tema wawancara gue kali ini adalah menentang adanya gap-gap disekolah, keren kan..???” ucapnya sambil menarik selimutku.

“Apa??? ”pekikku kaget

“Gap, non, gap. Bolot amat sih nie anak. Udah cepetan mandi, natr telat lagi sekolahnya,” ucapnya sambil menutup pintu.

Monyong deh bibir gue, mana bisa gue ngedukung tulisannya, padahal gue sendiri setuju adanya gap di sekolah. Waduuuhhh, Mba Tia nih ya, pagi-pagi udah bikin pusing.. “Huh Tega” gerutuku dalam hati. Sepertinya… nanti aku harus bohong deh.!!!!

Kurasakan sinar hangat matahari pagi mnyapaku lewat jendela kamar yang sudah dibuka tirainya, sejuk.Aroma segar rumput manila,bunga matahari, dan mawar-mawar peliharaan mama kuhirup dalam-dalam. Di halaman sudah ku dengar suara kicau riang dari burung-burung yang senang menyambut hari yang baru, dan juga daun-daun ketapang yang terlihat semangat dalam menjalani hari baru hingga embun diatasnya pun ikut mengalir dengan tenangnya. Ya, semua menyambutnya dengan semangat.

“Udah seger, nih?” suara Mba Tia terdengar melengking ketika aku menuruni tangga. “Ya, iyalah. Mbok Yem masak apa pagi ini,?” tanyaku pada mama.

“Tuh, Mbok Yem udah bikin masakan kesukaan kamu. Sambel ati goreng, bubur ayamnya Pak Tonggae, dan segelas susu.” Jawab mama runtut.

“Oh iya ma, urusan nganter Fani biar Tia aja deh yang ngatur, sekalian wawancara gitu. Ya nggak, non?” ucap Mba Tia girang. Dan, akupun hanya mengangguk pasrah sambil menunggu semangkuk buburku habis.

“Mba, wawancaranya ntar sepulang sekolah aja yah.? Habis Fani takut diajak nabrak,” kataku sambil membolak-balik majalah.

“Tenang aja kali, gue mah gak bego-bego amat kaya elo, Fan. Nih, gue udah siapin alat perekam untuk wawancara kita hari ini, so, elo gak usah takut gue nyetir sambil nulis.!” Jawabnya tegas.

“Jadi,bagaimana menurut anda tentang terbentuknya gap di sekola?” katanya memulai wawancara.

‘Hmmm, menurutku sich biasanya gap di sekolah terbentuk karna ada beberapa kelompok siswa yang mempunyai selera, tinhkat intelektualitas, maupun pola pergaulan yang tidak sama, atau factor-faktor yang lain, dan paa akhirnya membentuk kelompok bermain yang khusus,” jawabku

“Ok, jawaban yang bagus. Sekarang apakah anda sendiri setuju mengenai munculnya gap-gap di sekolah?”

“Secara tegas, aku gak setuju,” jawabku bohong. “Karena menurut aku…. Wah mba udah sampe nih, wawancaranya disambung ntar sore lagi aja ya!” Ucapku sambil keluar dari mobil.

“Sedikit aja deh, Fan, ini mau diketik nanti. Please, deh, mesti aku kumpulin sore ini.” Ucapnya memohon.
“Yeee, salah Mba Tia sendiri pake acara mendadak segala.” Jawabku ketus. “Daaaghh”

“Pagi Fan kok tumben berangkat pagi sambil semyum-senyum gitu??” tanya Nanda. “Hmm, masa sich?” jawabku singkat.

“Bentar deh, Gue gak dapet kursi lagi???” tanyaku pada Nanda.

“Sory Fan, soalnya tadi aku berangkatnya juga udah siang. Kursi di belakang Cuma tinggal satu, jadi…” ucap Nanda.

“Stop,stop,stop. Jadi, gue mesti sebangku sama Nina kan???” ucapku sambil memonyongkan bibir.

Ya Nina namanya. Orangnya sih emang pintar, tapi,… nyebelin banget. Heeeh aku jadi ingat tema artikelnya Mba Tia, kurasa gap yang ada di kelasku ini karna perbedaan tingkat kualitas yang mencolok. Jadi ya begini, kelas menjadi 2 gap. Sebagai minoritas adalah kelompok anak pintar yaitu Teti dan Nani. Dan sebagai mayoritas adalah kami, sejumlah 38 siswa yang mempunyai otak pas-pasan.

“Fiuuh..”kuhelakan nafas panjang. Sesekali aku memerhatikan Nina yang sedang asyik memerhatikan berbagai rumus kimia yang sedang dia jarkan. “Fiuuh..” kuhelakan nafas sekali lagi, mencoba untuk duduk tenang.

“Pelajaran kita sampai disini, kita lanjutkan minggu depan” suara pak Bowo membuyarkan lamunanku. “ Wwwwoooii, teman-teman pelajaran kita yang ke-7 kosong. Hore, hore, hore…,” suara riuh kembali menggema.

“Fan, ke kantin yuk,” ajak Nanda. “Ngaak ah. Kalian aja,”tolakku singkat. “Oke deh. Kami pergi dulu yah,” tukasnya sambil meninggalkan kelas. Kulihat sekeliling begitu sepi hanya ada 3 ank di kelas, aku, Nani, dan Teti.

“Hmmm, Nani apa kabar??” tanyaku bimbang. “ Oh iya aku boleh nanya sedikit gak?” tanyaku lagi.

“Boleh” jawabnya singkat dengan air muka yang masih dingin.

“Menurut kamu, apakah kamu setuju dengan adanya gap-gap yang timbul?” ucapku sambil mengingat apa yang Mba Tia tanyakan. Nina kan anak pintar pasti jawabnnya bisa memuaskan Mba Tia.

“Nggak. Bahkan aku bingung kenapa di sekolah ini aku selalu di jauhin sama yang lain, sampai ada gap yang begitu mencolok,” kini air muknya bertambah dingin.

“Hmmm, itu karna loe terlalu pintar, dan loe gak pernah mau bekerja sama dengan kami saat ujian,” tukasku sembarang.

“Itu karna kalian gak mau berfikir Kalian…Kalian sebenarnya juga pintar,” kini suaranya terdengar agak bergetar.

“Hah??? Loe?? Gak nyindir deh…!” Tukasku getir. Dia masih memandangku datar, wajah tirusnya keliatan semakin sayu.

“Mba, ayo kita lanjutin wawancaranya.!” Ucapku sambl melempar tasku ke jok belakang. “Terlambat!” jawabnya singkat. “Iiihhh, ngambek. Iya deh, mba maaf-maaf…, habis tadi keburu bel. Jangan ngambek gitu dong!” rayuku.

“Ya udah gapapa kata. Lagian tadi kata Mas Irwan, artikelnya mau diterbitin bulan depan aja , katanya sih mau dibikin sekalian sama bulan pendidikan gitu,” jawab Mba Tia. “Ooooo… jadi gitu. Kalo gitu 3 minggu lagi kta baru mulai wawancara lagi kan?” tanyaku senang.

“Ya nggak lah. Dari pada mendadak lagi kan mending sekarang,”ucapnya. “Nggak mau ah. Fani lagi males mikir nih,” tukasku. “Terserah kamu deh. Asal jangan lebih dari 3 minggu aja.” Ucapnya pasrah.

Lagi-lagi aku kesiangan berangkat sekolah. Tempat duduk di bagian belakang udah penuh terisi sama anak2 yang lain. “Fiuuh..”kuhelakan nafas prihatin, aku duduk dengan Nani lagi.

“Pagi Fan!” sapa Nani sebelum aku duduk di sampingnya. “Pagi,” ucapku canggung. “Soal kemarin….,”ucapnya. “Soal kemarin aku mau kasih kamu tawaran. Kal aku bias buktiin kalo kamu itu sebenarnya pintar tanpa harus aku berikan contekan saat ulangan.Apa kamu mau jadi temanku?” tanyanya penuh harap

“Baiklah,” jawabku singkat. Aku sendiri geli mendengar tawarannya. “Kalau begitu, sebelum kita ujian kenaikan kelas 3 minggu lagi, kau harus belajar denganku sepulang sekolah. Dan kita mulai hal itu hari ini.” Ucapnya riang.

“Tapi aku belum bilang sama orang rumah,” tukasku karena kaget. “Tenang aja. Nanti kita telepon ibumu dari rumahku.” Ucapnya lembut. Dan aku hanya mengangguk, heran…..

Dengan langkah kaki yang begitu ringan kumasuki pintu kelas dengan gembira. Ujianku kali ini memang beda dari ujianku yang dulu-dulu. Aku merasa lebih mudah mengerjakannya. Usaha Nina mengajarkanku tidak sia-sia, aku harus berterima kasih kepadanya.

“Lho, nan kok kelas sepi banget?” tanyaku pada Nanda. “Loe belum tau ya Fan? Tadi malem kan ada temen kita yang meninggal karna over dosis pake narkoba, trus sekarang temen-temen yang laen lagi pada ngelayat di kantor. Yuk kita ke kantor.” Ucapnya.

“Apa??? Siapa??? Dodi??? Bukannya dia udah dibilangin biar gak make lagi???” Tanyaku masih kaget. “Bukan…Bukan… itu loh si Nani,” jawabnya. “Neni???” pekikku kaget. Tiba-tiba aku merasa lemas, aku hanya ingin duduk. “Tapi…Tapi…Tapi… Bukannya Nani anak pintar? Gak mungkin dia sebodoh itu menjamah narkoba sebagai pelariannya.”

“Nanda masih mengguncang-guncangkan badanku, ia tampak kebingungan melihatku lemas terkulai di teras kantor.Tidak, aku harus tegar.Aku masih diam menatap jenazahnya. Wajah tirusnya terlihat pucat. Nani yang kemarin masih setia mengajariku, sekarang hanya tertidur lemah untuk selama-lamanya.

“Nak, Fani,” kudengar suara parau seorang ibu manyapaku. “Tante… Nani…,” aku hanya bias menangis. “Ya, tante tau kamu juga sedih. Ini ada surat terakhir buatmu,” ucap mama Nani sambil memelukku.
Kupandang surat warna kuning yang masih tertutup rapat. Di depan jenazahnya mulai ku membukanya.

Fani Temanku,

Maaf hanya secarik kertas yang bisa kusampaikan. Oh, iya apa kamu senang dengan belajar bersama kita akhir-akhir ini? Aku sangat senag dan kuharap kau pun begitu. Kau tahu, aku sudah tidak sabar menunggu hasil ujian kita, dan memenangkan tawaranku bahwa kau benar-benar menjadi temanku.

Tapi, bagaimanpun hasilnya, aku sudah senang kau mau menemaniku hamper 3 minggu ini. Maafkan aku, aku sudah tidak tahan dengan suasana di sekolah, teman-teman yang selalu menjauhiku, hingga menyudutkanku menjadi kelompok minoritas. Maafkan aku, jika kau harus menemaniku belajar kemarin. Tapi, aku benar-benar membutuhkan teman…. Aku tidak mau diasingkan.

Nani Iskandar

“Mbaaa…,” ucapku sambil menangis kepada Mba Tia.

“Kamu kenapa fan?? Abis berantem sama temen???” tanyanya. Aku hanya menggeleng.

“Aku mau ngelanjutin wawancara kita sekarang,” jawabku datar.

“Baiklah,” ucapnya heran dengan aksennya yang menaikkan kedua alisnya.

“Aku… Aku… Benci… GAP…,”ucapku patah-patah sambil menangis. Kini siluet senja merah menggerogoti relung jiwaku, dan aku benar-benar menyesal.


NB: Buat apa coba2… jangan pernah ya jauhin temen2 kalian meski dia senyebelin apa pun…
Oke

You Might Also Like

0 komentar